Hari ini, tanggal 2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tahun ini Hari Pendidikan Nasional mengambil tema “Pimpin pemulihan, untuk Merdeka Belajar”. Hal ini tentu saja berkorelasi dengan bangsa kita yang berangsur – berangsur mengalami pemulihan setelah dilanda pandemi COVID-19 sejak pertengahan Maret 2020.
Kita tidak bisa menampik fakta bahwa pandemi COVID-19 benar – benar telah melumpuhkan berbagai sendi kehidupan di Indonesia. Tak terkecuali bidang pendidikan. Pembelajaran yang awalnya dilangsungkan secara tatap muka (luring) menjadi pembelajaran yang diselenggarakan secara daring. Guru dan peserta didik dipaksa untuk beradaptasi dengan bentuk sistem pembelajaran ini dengan menggunakan kurikulum yang telah disesuaikan. Pendidikan kita yang awalnya menggunakan Kurikulum 13 (K-13), sekarang menggunakan Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum ini merupakan perbaikan dari K-13, yang diluncurkan untuk merespon situasi pandemi COVID-19. Kurikulum Merdeka Belajar sendiri merupakan bagian dari Program Merdeka Belajar yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di bawah kepemimpinan Nadiem Makarim.
Program Merdeka Belajar merupakan suatu program yang membuka kesempatan bagi peserta didik untuk bisa memilih pelajaran yang diminati. Program ini juga bertitik berat pada pembentukan karakter. Karakter yang ingin dibentuk dalam pribadi peserta didik tentu saja haruslah karakter yang berakar dari bangsa Indonesia, di mana dalam program ini dikenal sebagai Profil Pelajar Pancasila. Peserta didik akan diajar oleh guru penggerak yang mengerti kebutuhan peserta didik dan disesuaikan dengan lingkungan budaya tempat tinggal peserta didiknya tersebut.
Apabila kita mencermati sejarah, dasar pemikiran Program Merdeka Belajar sebenarnya sejalan dengan pemikiran dari tokoh sejarah bangsa Indonesia sejak dulu. Tokoh yang dimaksud adalah Sarmidi Mangunsarkoro yang menjadi pembicara pada Kongres Pemuda II. Pada hari kedua kongres ini yaitu tanggal 28 Oktober 1928, Sarmidi Mangunsarkoro mengemukakan bahwa pendidikan nasional harus membangunkan perasaan nasional dan membesarkan kecintaan kepada bangsa dan tanah air. Pendidikan juga harus disandarkan di atas kultur kita sendiri dan pengaruh luar harus dirubah dan disesuaikan dengan keperluan kita. Pendidikan jangan diberikan di sekolah saja, tapi juga di rumah dan di luar (perkumpulan pandu, sport, seni, dan debating club). (Safwan, 1993) Hal ini membuktikan bahwa tokoh sejarah bangsa kita sudah memiliki visi ke depan bagaimana seharusnya pendidikan harus diselenggarakan.
Akhir kata di Hari Pendidikan Nasional ini, semoga pendidikan di negara kita bisa menghasilkan Sumber Daya Manusia yang unggul, yang mampu berkontribusi pada kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.
Referensi :
Safwan, Mardanas. (1993). Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda. Museum Sumpah Pemuda. Jakarta. h 46
Penulis: Setyo Wahyuni