“Bukan hanya Supriyadi, dua pahlawan nasional ini keberadaannya masih menyisakan misteri. Desas-desus mengisahkan mereka diculik, kemudian dihabisi.”

Tepat hari ini, 13 April, Komandan Peta Supriyadi berulang tahun. Bung Karno pernah menunjuknya sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada 2 September 1945. Supriyadi yang kala itu berusia 22 tahun menjadi menteri termuda dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, Supriyadi tak kunjung menampakkan batang hidung. Dugaan kuat bahwa Supriyadi telah tewas akibat  pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945.

Nestapa tidak sekadar pada kisah heroik perjuangan Supriyadi, berikut adalah dua pahlawan nasional yang dinyatakan wafat, namun keberadaannya masih menyisakan tanda tanya besar.  

Otista: Otto Iskandardinata

Wajahnya masih terpampang jelas menghias lembaran hijau uang senilai dua puluh ribu rupiah, yang dikeluarkan pertama kali oleh Bank Indonesia pada 29 Desember 2004. Namanya kelak diabadikan menjadi sebuah jalan membentang yang acap disingkat dan dikenal ‘Otista’. Pun Stadion Si Jalak Harupat. Alhasil, masyarakat awam jadi tak mengenal siapa Otto Iskandardinata.

‘Si Jalak Harupat’ lahir di Bandung pada 31 Maret 1897. Dikenal sebagai anggota Budi Utomo dan Volksraad (DPR Zaman Belanda) yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang kerap menyengsarakan rakyat, Otto Iskandardinata aktif di sebuah organisasi budaya Sunda yang bergerak menaungi pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Organisasi tersebut  bernama Paguyuban Pasoendan.

Otto Iskandardinata (Mengenakan Kopiah) berfoto bersama keluarga

Selain pernah memimpin surat kabar “Tjahaja (1942-1945) pada masa pendudukan Jepang, Otto Iskandardinata juga merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).   

Nahas, setelah menjabat Menteri Negara yang mengurusi badan keamanan rakyat pada Kabinet Pertama Presiden Soekarno, Otto Iskandardinata diculik. Diperkirakan pada 20 Desember 1945, Otto Iskandardinata dihabisi di Pantai Mauk, Banten oleh Laskar Hitam yang tak puas dengan kebijakan penyatuan mantan anggota Peta bentukan Jepang dengan bekas prajurit KNIL bentukan Belanda 

“Tetapi saya percaya bahwa Indonesia yang sekarang dijajah pasti akan merdeka. Bangsa Belanda terkenal sebagai bangsa berkepala dingin, hendaknya tuan-tuan bangsa Belanda memilih di antara dua kemungkinan: menarik diri dengan sukarela tetapi terhormat, atau tuan-tuan kami usir dengan kekerasan”

(Petikan Pidato Otto Iskandardinata di hadapan Ketua Volksraad)

dr. Moewardi

Serupa tapi tak sama, hal tragis juga menimpa dr. Moewardi. Beliau adalah dokter lulusan STOVIA yang dijuluki ‘dokter gembel’ karena acap menolong rakyat miskin dan cara berpakaiannya pun ala kadar. Mantan Gubernur Jakarta, Soediro (1953-1960) yang juga merupakan rekan sejawat, mengungkapkan bahwa dr. Moewardi tidak pernah berdusta, tidak merokok, tidak minum-minuman keras, dan hidupnya begitu sederhana.

dr. Moewardi

Ketika menjadi kader Jong Java, dr. Moewardi ‘Sang Pandu Sejati’ begitu menaruh sayang kepada organisasi kepanduan, sampai-sampai beliau menginisiasikan agar organisasi kepanduan yang dahulu terpecah belah bersatu menjadi sebuah organisasi yang padu. Hasrat dr. Moewardi itu tercapai ketika lahirnya Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada 13 September 1930. KBI merupakan fusi dari Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra, dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie (INPO).

dr. Moewardi turut hadir di rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 saat detik-detik Proklamasi Kemerdekaan dibacakan. Kemudian beliau aktif di Barisan Pelopor sampai pada akhirnya memilih mundur dari kepengurusan dan memegang tampuk pimpinan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) pada 1948. Situasi politik yang begitu pelik di Solo imbas hasil Perundingan Renville yang mengecewakan, mendesak dr. Moewardi sebagai pimpinan GRR mau tak mau berada di pusaran konflik yang diramaikan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). dr. Moewardi sudah diperingatkan untuk menghindar dan segera berlindung. Pengabdian dr. Moewardi sebagai seorang dokter menghendakki beliau untuk menyelesaikan tugasnya yang masih tersisa hingga ajal lebih dulu menjemput.

Kala itu, dokter yang lahir pada 30 Januari 1907 di Pati, Jawa Tengah ini hendak melakukan pembedahan terhadap seorang anak di Rumah Sakit Zending Jebres (RS. dr. Moewardi). Belum sempat pembedahan dilakukan, kamar bedah diketuk oleh seseorang. Seketika dibuka, masuklah empat pemuda tak dikenal. Mereka tanpa pandang bulu kemudian menodong senjata ke arah dr. Moewardi dan membawanya pergi menggunakan sebuah mobil open-kap berwarna hijau. Asisten dr. Moewardi tak kuasa menghentikan. Semenjak saat itu dr. Moewardi tak pernah kembali ke rumahnya dan dinyatakan wafat.

Referensi

Anhar, Ratnawati. 1992. Pahlawan Nasional Supriyadi. Jakarta: Balai Pustaka

Lubis, Nina. 2003. Si Jalak Harupat: Biografi R. Oto Iskandar di Nata (1897-1945). Jakarta: Gramedia

Mulyono. 1981. Dokter Muwardi. Jakarta: Depdikbud.

Poeze, Harry. 2011. Madiun 1948: PKI Bergerak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Umasih. 2006. Sejarah Pemikiran Indonesia sampai dengan tahun 1945. Jakarta: Depbudpar

Eko Septian Saputra, S.Hum./Kurator

Share:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jl. Kramat Raya 106, Jakarta Pusat 10420.
(021) 3103217, 3154546
museumsumpahpemuda@kemdikbud.go.id
Chat Sekarang
Perlu bantuan?
Hallo... Ada yang bisa kami bantu?